Selasa, 22 Juli 2014

ASNLF diaktifkan di UNPO, Kemerdekaan Aceh di teruskan

Dalam kurun waktu 2 tahun, ASNLF (Acheh-Sumatra National Liberation Front) berupaya memperjuangkan kembali keanggotaannya di UNPO. Organisasi kemerdekaan bagi Aceh itu sebelumnya diaktifkan kembali di Denmark April 2012 silam.

Kabar itu diketahui saat rapat Presidensi di Munich, Jerman, 27 Juni 2014, ASNLF kembali diterima sebagai anggota tetap oleh sebuah badan dunia yang memperjuangkan bangsa yang tertindas (UNPO).

UNPO sendiri mengurusi dan mengorganisir disetiap even-even internasional seperti pelatihan tentang hak azasi manusia, cara berdiplomasi, manegemen politik, bantuan darurat korban perang, dan cara-cara memperjuangkan keadilan bagi bangsa-bangsa yang tertindas serta memfasilitasi bagi rakyat yang ingin menentukan nasib sendiri (Self Determination).

Sebelumnya, ASNLF selalu mendapat undangan khusus diberbagai even-even besar UNPO–walaupun belum menjadi angota saat itu. Ini merupakan berkat pendekatan staf dan presidium organisasi bangsa Aceh yang melanjutkan perjuangan yang di proklamirkan Almarhum Dr Hasan Ditiro sebagai pendiri ASNLF itu sendiri.

Acara-acara yang telah diikuti oleh kader muda ASNLF seperti Speak out 2012 di Kantor UNPO di Haag, Belanda, Project Cycle Manegement, dan seminar Self Determination 21st Century serta even lainnya. Begitu juga pada rapat diskusi tentang HAM Indonesia di Jenewa. Kal itu, ASNLF turut mengirim pelobinya bersama pejuang kemerdekaan dari OPM dan RMS.

Dari rapat yang di ikuti ASNLF selalu medapat perhatian dalam melobi dan berdiplomasi. Salah satu faktornya ASNLF mengirim delegasi yang berpendidikan dan punya pengalaman panjang baik dalam membangun diplomatik. Diketahui selanjutnya bila mereka adalah sebahagian besar merupakan didikan langsung Dr Hasan Ditiro.

Pada seminar terakhir di Antwerp, Belgia, 31 Maret sampai 30 April 2014, salah seorang pengurus bidang ekonomi UNPO, Jeroen Zandberg, menanyakan tentang sokongan rakyat Aceh terhadap ASNLF. Jeroen bertanya sambil menyidik betulkah ASNLF mendapat sokongan rakyat ditengah tengah isu perdamaian yang sering di kumandangkan oleh pemerintahan Aceh dan Indonesia? Dapatkah ditunjukan berapa persen sokongan yang mulai ada?

Ketua Presidium ASNLF kala itu menjawab kalau saya tunjukkan berapa rakyat Aceh yang menyokong ASNLF saat ini, dapatkah anda mempertanggungjawabkan dan menjamin keselamatan bila terjadi sesuatu terhadap mereka,tanya balik Ariffadhillah.

Dalam waktu yang hampir bersamaan, Jeroen Zandberg mendekati saya dan menyidik lagi dengan pertanyaan yang hampir sama. Ketika itu saya memberi jawaban yang lebih bersemangat lagi.

Kata saya, sekarang hampir setiap hari kami menerima telepon dari berbagai kalangan dari Aceh ingin bergabung dengan ASNLF. Begitu juga dalam media sosial Facebook, group laman web ASNLF yang hampir setiaphari ada saja hendak bergabung. Jadi sulit dihitung, kataku, tentang keinginan merdeka rakyat Aceh yang belum punah, malah mulai bersemangat akibat ASNLF di pelopori oleh orang-orang jujur,” ujar saya meyakinkannya.

Setelah mendengar panjang lebar penjelasan itu Jeroen mengatakan, kami bersama staf UNPO lainnya akan mengadakan rapat Presidensi tidak lama lagi di Munich Jerman dan akan membahas tentang keanggotaan ASNLF nanti.

Seperti diketahui Setelah di putuskan keanggotaannya tahun 2008 oleh pendahulu perjuangan, ASNLF kembali berkiprah kembali di arena perjuangan yang mulai ditinggalkan oleh sebagian pengikut setia proklamator Aceh Merdeka Dr Hasan Ditiro.

Berkat lobi lobi internal dan sosialisasi kepada rakyat Aceh, maka ASNLF berhasil merebut kembali partisipasi bekas pejuang, ulama, kaum akademisi dan khusunya rakyat Aceh itu sendiri, Maka tak diherankan ASNLF mendapat dukungan yang begitu hebat baik di Aceh, Eropa, Australia, Amerika dan Malaysia.

Kita bisa melihat bangsa Aceh begitu antusias menyimpati adanya kelanjutan pergerakan kemerdekaan di bawah payung ASNLF, hal ini bisa di buktikan dengan beredarnya plakat-plakat dan bedera Aceh di media di Aceh, juga termasuk di kantor UNPO dan demonstrasi didepan kantor PBB di Jenewa. Ditambah lagi siaran pers dan berita terbaru hasil kerja nyata ASNLF di media hingga membuka kembali mata rakyat Aceh.

ASNLF merupakan tempat terakhir ketergantungan pejuangan bangsa ini. Dan dalam rapat besarnya di Denmark pada bulan April 2012 lalu, telah di bentuk struktur kepemimpinan dalam bentuk Presedium yang artinya kepemimpinan kolektif yang dikawal oleh empat anggota Presidium. Hal ini untuk menguatkan keabsahan dalam sebuah organisasi untuk mengontrol kebijakan.

ASNLF mempunyai fondasi sebagai basis perjuangan yang bersendikan kepada kekuatan rakyat (bukan kelompok) dan merupakan organisasi yang tidak mengutamakan kekerasan serta menggunakan cara yang beradab seperti jalur diplomatik, ekonomi, lobi internasional dan juga mengedepankan hak azasi manusia.

Strategi yang di pasang ASNLF adalah dengan cara meggunakan sarana tekhnologi baik dalam berkomunikasi maupun dalam menjalankan kerjanya.

Media maya, tabloid dan pendekatan perorangan (konsolidasi) merupakan salah satu cara untuk merangkai kembali misi perjuangan, sekaligus mengangkat hasrat rakyat untuk merdeka ketingkat internasional. Dalam hal ini otomastis sekaligus menyerang Indonesia sebagai negara yang masih menerapkan sistem kolonial tanpa memperdulikan hak perogratif bangsa setempat. Namun, Indonesia selalu berusaha menyempitkan arti demokrasi seperti yang tercantum dalam amanat PBB.

Solusi yang ditawarkan oleh ASNLF adalah Referendum, dimana seluruh ketentuan dan keinginan rakyat adalah mutlak untuk di kedepankan. Hak untuk menentukan nasib sendiri (Self Determination) seperti negara negara yang telah merdeka harus di utamakan.

Hal ini tidak bertentangan dengan hukum internasional, karena Aceh merupakan negara sambungan (succesorstate), bermakna Aceh merupakan negara berkesinambungan dari kerajaan Aceh sebelum Belanda menyatakan perang dengan Aceh Tahun 1873 dan pemutusan penyataan perang oleh Belanda belum di permaklumkan sampai sekarang. Hematnya, Aceh masih sebuah negara yang di aneksasi oleh negeri Belanda dan selanjutnya disambung oleh kembarannya, Indonesia.

Dalam brosur ASNLF yang sering di edarkan kepada khalayak dalam seminar di tingkat internasional tercantum bahwa:

The UN General Assembly Resolution 2711-XXV, adopted on October 14, 1970, recognized the legitimacy of the liberation struggle, including armed struggle, waged by the colonized peoples to gain their rights of self-determination and to get rid of colonial or foreign domination. All member nations are requested to give necessary aid to such struggles.

These are legal basis in International Law of the foundation of the Acheh-Sumatra National Liberation Front in the struggle to regain their legitimate right of self-determination from Indonesian colonialism. The movement affirms its internationalist character by its solidarity with other liberation movements of the oppressed peoples all over the globe.

Artinya: Dalam Resolusi Majelis Umum PBB 2711-XXV, diadopsi pada tanggal 14 Oktober 1970, mengakui legitimasi perjuangan pembebasan, termasuk perjuangan bersenjata, yang dilakukan oleh orang-orang terjajah untuk mendapatkan hak-hak mereka untuk menentukan nasib sendiri dan untuk menyingkirkan dominasi kolonial maupun asing . Semua negara anggota diminta untuk memberikan bantuan yang diperlukan untuk perjuangan tersebut.

Ini adalah dasar hukum dalam hukum Internasional yang di pegang oleh Front Pembebasan Nasional Acheh-Sumatra (ASNLF), dalam perjuangan untuk mendapatkan kembali hak sah mereka untuk menentukan nasib sendiri dari penjajahan Indonesia. Gerakan ini menegaskan karakter internasional yang mempunyai solidaritas yang tinggi dengan gerakan-gerakan pembebasan lainnya dari masyarakat tertindas di seluruh dunia.

Nah, sekarang tinggal kepada bangsa Aceh, bagai mana memamfaatkan kesempatan besar ini untuk merebut kembali kemerdekaan yang hakiki. Seperti adagium di komunitas Aceh yang berkembang disini “Di lua ka, di nanggroe peuĂ« lom?” (diluar negeri sudah mulai, didalam negeri tunggu apa lagi?). |Ir Bukhari Raden|

Penulis adalah warga Aceh, di Bryne, Norwegia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar